Tudingan bahwa dokter muda masa kini cenderung
matre, tidak mau susah-susah ditempatkan ke daerah tidak selamanya
benar. Buktinya, banyak juga yang tidak kapok dan malah makin tertantang
meski menghadapi keterbatasan sarana kesehatan.
Salah satunya dr
Stefani Christanti, dokter umum lulusan Universitas Airlangga Surabaya.
Semasa menjalani PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Puskesmas Oelolok,
Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, ia banyak mengalami
tantangan terkait fasilitas yang sangat terbatas.
Misalnya pada
suatu ketika, ia harus menangani pasien dengan luka robek di malam hari.
Gara-gara listrik di tempat tugasnya padam, ia terpaksa hanya bisa
memberikan pertolongan pertama dalam kondisi gelap gulita lalu meminta
pasien datang lagi keesokan harinya.
Apa yang terjadi kemudian
sangat disesali dr Stefani, pasien tersebut tidak pernah muncul lagi dan
setelah ditelusuri ternyata larinya ke dukun. Pasien yang secara
tradisional masih mengakui kehebatan para dukun, makin tidak percaya
dengan dokter dengan fasilitasnya yang terbatas.
"Mereka
menganggap profesi dokter masih jauh dari masyarakat. Untuk
penyakit-penyakit tertentu mereka lebih percaya dukun dan pengobatan
tradisional, lalu kalau sudah parah baru ke dokter," kata dr Stefani
dalam roundtable discussion dengan para kandidat Pencerah Nusantara di
Wisma Kementerian Pertahanan, Kamis (12/7/2012).
Kondisi serupa
juga dialami oleh dr AA Dwi Wulandari, lulusan Universitas Udayana yang
sudah 3 tahun bekerja di salah satu Puskesmas di lingkungan Pemkab
Bangli, Bali. Di tempatnya bekerja, dokter kelahiran 30 April 1984 ini
harus berhadapan dengan praktik dukun yang masih sangat kuat.
Selain
karena masyarakat masih banyak meyakini mitos-mitos yang tidak benar,
faktor geografis yang mempersulit akses pelayanan kesehatan juga menjadi
tantangan tersendiri bagi para petugas kesehatan di daerah. Belum lagi
pola pikir masyarakat yang masih berorientasi pada pengobatan dan bukan
pencegahan.
"Penyebab masyarakat di daerah berpikir lebih baik ke
dukun dulu baru ke dokter, salah satunya adalah kurangnya prasarana.
Dokter ada, tapi obat dan prasarana tidak ada, lalu bagaimana kita mau
menyembuhkan?" kata dr Dwi.
Banyaknya tantangan saat bertugas di
daerah tidak membuat dr Stefani dan dr Dwi kapok. Bersama dokter-dokter
muda dan juga tenaga kesehatan lainnya, keduanya kini menjalani seleksi
untuk program Pencerah Nusantara yang diadakan untuk pertama kalinya
oleh Kantor Utusan Khusus Presiden Indonesia (KUKPRI) untuk Millenium
Development Goals (MDGs).
Peminat yang mendaftar cukup banyak,
yakni mencapai 1.043 orang dengan rincian 268 dokter umum, 18 dokter
gigi, 173 perawat, 98 bidan dan 486 pemerhati kesehatan. Seluruh peserta
merupakan insan muda berusia kurang dari 30 tahun, yang belum lebih
dari 5 tahun lulus dari universitas.
Dari jumlah tersebut akan
dijaring 74 kandidat pada seleksi tahap pertama, lalu dikerucutkan lagi
menjadi 42 peserta dalam seleksi tahap kedua. Para peserta yang lolos
seleksi akan mendapat pelatihan intensif selama 6 pekan lalu ditempatkan
selama 1 tahun di 7 daerah yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.
Selaku
Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs, Prof Dr dr Nila
Moeloek, SpM(K) mengakui bahwa keterbatasan sarana sangat menghambat
pelayanan kesehatan di daerah. Pelayanan dokter dan tenaga kesehatan
jadi tidak maksimal, akhirnya masyarakat lari ke alternatif.
Tidak
bisa dipungkiri, pola pikir masyarakat ketika datang ke dokter adalah
pasti mengeluarkan uang dengan harapan akan sembuh. Padahal jika
sarananya terbatas, maka para dokter dan tenaga kesehatan juga tidak
bisa berbuat banyak dan harus rela pasiennya lari ke dukun.
Dalam
jangka pendek, pengobatan alternatif tradisional mungkin bisa menjadi
solusi meski secara statistik tidak selalu bisa menyembuhkan. Penyakit
tertentu tidak akan sembuh tanpa intervensi medis, kemudian baru dibawa
ke dokter ketika sudah makin memburuk.
"Setelah makin parah
datang lagi ke dokter, akhirnya matinya di tangan dokter. Makin jelek
jadinya citra dokter. Karena itu, dokter harus bisa menggeser agar
pasien datang bukan saat advance tetapi dicegah jangan sampai sakit,"
pesan Prof Nila.
Rabu, 18 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar