Rabu, 18 Juli 2012

Semangat Dokter-dokter Muda yang Tak Kapok Tugas di Daerah

Tudingan bahwa dokter muda masa kini cenderung matre, tidak mau susah-susah ditempatkan ke daerah tidak selamanya benar. Buktinya, banyak juga yang tidak kapok dan malah makin tertantang meski menghadapi keterbatasan sarana kesehatan.

Salah satunya dr Stefani Christanti, dokter umum lulusan Universitas Airlangga Surabaya. Semasa menjalani PTT (Pegawai Tidak Tetap) di Puskesmas Oelolok, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, ia banyak mengalami tantangan terkait fasilitas yang sangat terbatas.

Misalnya pada suatu ketika, ia harus menangani pasien dengan luka robek di malam hari. Gara-gara listrik di tempat tugasnya padam, ia terpaksa hanya bisa memberikan pertolongan pertama dalam kondisi gelap gulita lalu meminta pasien datang lagi keesokan harinya.

Apa yang terjadi kemudian sangat disesali dr Stefani, pasien tersebut tidak pernah muncul lagi dan setelah ditelusuri ternyata larinya ke dukun. Pasien yang secara tradisional masih mengakui kehebatan para dukun, makin tidak percaya dengan dokter dengan fasilitasnya yang terbatas.

"Mereka menganggap profesi dokter masih jauh dari masyarakat. Untuk penyakit-penyakit tertentu mereka lebih percaya dukun dan pengobatan tradisional, lalu kalau sudah parah baru ke dokter," kata dr Stefani dalam roundtable discussion dengan para kandidat Pencerah Nusantara di Wisma Kementerian Pertahanan, Kamis (12/7/2012).

Kondisi serupa juga dialami oleh dr AA Dwi Wulandari, lulusan Universitas Udayana yang sudah 3 tahun bekerja di salah satu Puskesmas di lingkungan Pemkab Bangli, Bali. Di tempatnya bekerja, dokter kelahiran 30 April 1984 ini harus berhadapan dengan praktik dukun yang masih sangat kuat.

Selain karena masyarakat masih banyak meyakini mitos-mitos yang tidak benar, faktor geografis yang mempersulit akses pelayanan kesehatan juga menjadi tantangan tersendiri bagi para petugas kesehatan di daerah. Belum lagi pola pikir masyarakat yang masih berorientasi pada pengobatan dan bukan pencegahan.

"Penyebab masyarakat di daerah berpikir lebih baik ke dukun dulu baru ke dokter, salah satunya adalah kurangnya prasarana. Dokter ada, tapi obat dan prasarana tidak ada, lalu bagaimana kita mau menyembuhkan?" kata dr Dwi.

Banyaknya tantangan saat bertugas di daerah tidak membuat dr Stefani dan dr Dwi kapok. Bersama dokter-dokter muda dan juga tenaga kesehatan lainnya, keduanya kini menjalani seleksi untuk program Pencerah Nusantara yang diadakan untuk pertama kalinya oleh Kantor Utusan Khusus Presiden Indonesia (KUKPRI) untuk Millenium Development Goals (MDGs).

Peminat yang mendaftar cukup banyak, yakni mencapai 1.043 orang dengan rincian 268 dokter umum, 18 dokter gigi, 173 perawat, 98 bidan dan 486 pemerhati kesehatan. Seluruh peserta merupakan insan muda berusia kurang dari 30 tahun, yang belum lebih dari 5 tahun lulus dari universitas.

Dari jumlah tersebut akan dijaring 74 kandidat pada seleksi tahap pertama, lalu dikerucutkan lagi menjadi 42 peserta dalam seleksi tahap kedua. Para peserta yang lolos seleksi akan mendapat pelatihan intensif selama 6 pekan lalu ditempatkan selama 1 tahun di 7 daerah yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

Selaku Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs, Prof Dr dr Nila Moeloek, SpM(K) mengakui bahwa keterbatasan sarana sangat menghambat pelayanan kesehatan di daerah. Pelayanan dokter dan tenaga kesehatan jadi tidak maksimal, akhirnya masyarakat lari ke alternatif.

Tidak bisa dipungkiri, pola pikir masyarakat ketika datang ke dokter adalah pasti mengeluarkan uang dengan harapan akan sembuh. Padahal jika sarananya terbatas, maka para dokter dan tenaga kesehatan juga tidak bisa berbuat banyak dan harus rela pasiennya lari ke dukun.

Dalam jangka pendek, pengobatan alternatif tradisional mungkin bisa menjadi solusi meski secara statistik tidak selalu bisa menyembuhkan. Penyakit tertentu tidak akan sembuh tanpa intervensi medis, kemudian baru dibawa ke dokter ketika sudah makin memburuk.

"Setelah makin parah datang lagi ke dokter, akhirnya matinya di tangan dokter. Makin jelek jadinya citra dokter. Karena itu, dokter harus bisa menggeser agar pasien datang bukan saat advance tetapi dicegah jangan sampai sakit," pesan Prof Nila.

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home